Kisah Ranti

Sehelai daun beringin gugur jatuh melayang dan hinggap di pangkuan Ranti. Dia mengambil helai daun gugur itu. Kuning, tua dan layu. Dia merabai tekstur daun yang pohonnya rindang menaungi tubuh mungilnya. Kasar, kaku dan angkuh.  Dengan geram tertahan di dada, Ranti lalu meremas daun malang itu dan menghempaskannya ke tanah.

Ranti memikirkan daun tadi. Di satu sisi, daun itu mempresentasikan dirinya sekarang. Ranti merasa senasib dengan daun tua itu. Mungkin benar usia Ranti baru dua puluh satu. Sedang ranum-ranumnya ibarat mangga muda. Ranti sedang menyelesaikan skripsinya. Sebentar lagi wisuda dan tak lama lagi akan merambah dunia kerja. Kemudian menikah.

Tapi sebaliknya, Ranti merasa dia sudah menguning, layu dan tua. Seperti daun itu. Tinggal menunggu saat yang tak seberapa lama lagi, Ranti juga akan terlepas dari pokok pohonnya, melayang, jatuh dan kemudian terkubur di tumpukan daun-daun gugur lain. Membusuk di tanah.

Gadis jangkung berkulit kuning itu mendesah. Kenapa harus menyesali yang harus terjadi? Ia memantapkan hatinya. Jika memang ia harus rontok dan gugur dan digantikan perannya oleh daun yang muda, segar dan lebih cantik, so what gitu loh.

Sebelum dia harus digugurkan, lebih baik dia dengan tegar menggugurkan diri dari hubungan yang rumit ini.

Ya, di senja yang penuh dengan awan berwarna jingga ini, Ranti berniat akan memutuskan hubungannya dengan Ranto. Lelaki yang telah dua tahun tiga bulan menjadi kekasihnya. Waktu yang cukup lama untuk sebuah hubungan. Tapi ternyata tak membuat Ranti menjadi satu-satunya. Untuk selama-lamanya.
Air mata membayang di pelupuk mata Ranti. Dia mengusapnya pelan, sebelum jatuh dan menjadi air bah yang tak terhentikan. Ranti tidak ingin membuat senja ini menjadi senja yang karam dalam air mata. Biarlah senja tetap jingga, seperti ini adanya. Meskipun bagi Ranti, langit seperti hendak runtuh saja.

Semua berawal dari satu pesan pendek. Sebulan yang lalu. Ranti baru saja akan menyelesaikan paragraph akhir dari buku yang sedang dibacanya, saat ponselnya bernyanyi sembari meliuk-liuk di meja. Ranti meraihnya dan segera membuka ikon pesan pendek yang bertanda bintang di pinggirnya.
Pesan pendek dari Ranto. Singkat tapi membuat Ranti mengernyitkan dahi.

Aku bingung bagaimana harus membereskan masalah ini.

Ranti berpikir keras. Tapi pikirannya tidak bisa menjangkau apa yang dimaksudkan oleh pesan pendek Ranto. Masalah? Masalah apa? Setahu Ranti, dia dan Ranto tidak ada masalah apa-apa. Atau mungkinkah Ranto sedang terlibat masalah, dan berharap bantuan pemecahan masalah dari dirinya. Tapi masalah apa?

Dia membalas pesan pendek itu dengan pesan yang lebih pendek.

Masalah apa, Sayang?

Pesan terkirim. Hingga sepuluh menit berlalu, Ranti menunggu. Balasan dari Ranto tak kunjung datang. Ada apa ini? Ranti jadi semakin penasaran. Dia seperti mengendus ada yang tak biasa dari pesan pendek yang Ranto kirimkan tadi. Apa mungkin Ranto salah kirim. Ranti menduga-duga tapi tetap tak menemukan jawabnya. Ranti menggelengkan kepalanya. Dia tak sabar menunggu balasan Ranto. Lalu dengan hati yang mulai ditelikung tanda tanya, Ranti menelepon Ranto.

Terdengar nada dering di ujung telinganya. Lagu Angel yang dilantunkan Robbie Williams menyeruput pendengarannya. Lagu yang amat disukainya itu tak sanggup membuatnya reda dari sebuah tanya yang menderanya.

Diangkat. Ah, Ranti sudah hampir menggenapkan penasaran, tanda tanya dan sedikit resah, menjadi sebuah  kekesalan. Dia menghembuskan nafasnya lega.

“Say, apa yang kamu maksud dengan masalah di sms-mu tadi. Aku nggak ngerti,”Ranti segera mencecar Ranto dengan tanya.

Maaf, Sayang. Aku salah kirim sms tadi.”

“Salah kirim? Bener nih?” dengan nada bercanda Ranti menyelidik. Dia merasakan ada getar aneh di vibrasi suara Ranto yang di dengarnya. Ranti menekan sekuat tenaga kecurigaannya, mengusirnya jauh keluar dari benaknya. Berusaha mencari keyakinan bahwa tidak ada yang tak biasa dari percakapan ini. Tapi suara Ranto malah membuat sebaliknya. Aduuh, ada apa ini, batinnya.

“Beneran, Sayang. Aku salah kirim. Tadinya aku mau kirim sms itu ke Tomy, tapi nggak tahu kenapa, malah salah kirim ke kamu, Sayang.”

Hmm. Tomy, siapa pula itu. Ranti kembali mengernyitkan dahinya. Setahunya, tidak ada teman Ranto yang bernama Tomy. Apa mungkin ada teman-temen Ranto yang dia belum kenal. Sedang terlibat masalah apakah gerangan, hingga Ranto menjadi semisterius ini. Biasanya Ranto selalu menceritakan apa saja yang dialaminya. Tapi kali ini, rasanya benar dugaannya. Ranto sedang menyembunyikan sesuatu darinya. Ranti hendak bertanya lagi, tapi Ranto sudah mengucapkan selamat malam, memberinya sebuah kecupan jauh. Dan telepon diputus.

Sebenarnya Ranti masih ingin menuntaskan kepenasarannya. Dia tidak ingin malam ini berbuntut insomnia dadakan karena digayuti semua tanya itu. Biasanya Ranto selalu menceritakan apa saja yang dialaminya. Tapi kali ini, rasanya benar dugaannya. Ranto menyembunyikan sesuatu.

Dan memang betul. Malam itu Ranti tidak bisa memejamkan matanya sampai suara kokok ayam jantan pertama memecah keheningan fajar.

Esok harinya, Ranti masih sempat mengingat kejadian semalam. Dia tercenung di tempat tidur sambil melamun, sampai akhirnya dia terkaget karena pintu kamarnya diketuk oleh ibunya. Dari balik pintu terdengar omelannya , yang membuatnya mengenyampingkan pikirannya pada Ranto. Dia bangkit dan melangkah gontai menuju kamar mandi. Hari ini akan banyak kegiatan yang harus dia kerjakan. Ranti mendesah panjang. Dia mengira-ngira kapan dia bisa bertemu dengan Ranto dan membabat habis semua gulma tanya yang sudah merambah kemana-mana di benaknya. Dia tiba-tiba merasa ada setetes demi setetes rasa takut yang jatuh tempias di hatinya. Membuatnya tak bisa berkonsentrasi pada apapun yang dia kerjakan. Ranti merasa akan terjadi sesuatu yang buruk padanya. Pada Ranto. Entah apa.

Ranti melepaskan pandangannya pada lalu lalang kendaraan di jalan raya. Dia ingin melemparkan rasa gundahnya ke aliran lalu lalang kendaraan itu. Ranti sudah terbiasa menunggu. Tapi kali ini, menunggu membuatnya tidak betah. Dia ingin segera mengakhiri semuanya. Dan dia bisa pulang ke rumah lalu tidur sepuasnya. Atau mungkin menangis sejadi-jadinya.

Tak biasanya taman ini sepi. Meskipun bukan taman yang indah dengan warna-warni bunga. Tapi taman ini sering dikunjungi oleh orang. Terutama muda-mudi yang ingin menikmati senja dengan pasangannya. Tak jarang kanak-kanak datang bersama orang tuanya, menikmati mainan yang sederhana yang tersedia di pojokan sana. Suara riang gelak tawa mereka turut menjadi bagian keindahan yang ditebarkan oleh senja di taman ini. Mungkin semua orang dan kanak-kanak yang biasa datang meramaikan taman ini, ditahan oleh sebuah kekuatan alam untuk membiarkan Ranti memiliki taman ini sendiri.

Ranti kembali diseret suasana senyap yang meremang,  ke dalam kancah lamunannya. Dia mengingat saat pertama kali dia bertemu Ranto. Saat indah yang selalu bisa menggetarkan hati Ranti kapan saja dia mengingatnya. Dia ingin merasakan getaran itu sekali lagi.

Pagi itu, saat mendung menyapu sinar matahari dari bumi. Ranti sudah menjejakkan kaki di kampusnya. Dia membalut tubuh jangkungnya dengan sweeter kuning gading untuk menepis udara dingin. Kaki-kaki panjangnya dengan langkah yang landai dan berirama melangkah menuju satu ruang terbuka di ujung koridor kedua di kampusnya. Akan ada pagelaran seni di sana.

Ranti bukan pegiat seni di kampusnya. Dia merasa terlalu sibuk untuk menambah jadwal kegiatan belajarnya dengan berkecimpung di UKM Seni Budaya. Jadi untuk menyalurkan kesukaannya pada seni terutama puisi, ia cukup menyempatkan diri untuk menonton pagelaran-pagelaran yang dipentaskan oleh komunitas mahasiswa pencinta seni itu.

Sudah ada beberapa orang di sana. Ranti lalu mengambil tempat di sebuah bangku taman yang tersedia. Menunggu sambil membuka buku The Alchemist dari Paulo Coelho yang belum tamat dia baca tadi malam.

“Buku yang bagus,” sebuah suara tiba-tiba menyergap telinganya. Ranti menoleh ke arah suara itu berasal. Dan matanya tertumbuk pada sosok tegap hitam manis dan sedang tersenyum menatapnya.

“Ah, ya. The Alchemist. Saking bagusnya, aku harus mengulang-ulang bacaannya sebelum akhirnya aku mengerti apa maknanya,” balas Ranti.

“Hmm, itu menandakan kamu seorang pembaca yang serius. Boleh aku duduk disini?”

“Oh ya, duduklah. Gratis kok.”

Ranti tertawa ringan sambil menggeser badannya, menyisakan tempat yang cukup untuk lelaki yang masih berdiri dengan senyum yang menawan itu di sampingnya.

“Pembaca yang serius? Maksudnya gimana?” tanya Ranti lagi sesaat setelah lelaki itu duduk tak jauh disampingnya.

“Saking seriusnya, kamu berusaha untuk memahami maknanya dengan mengulang-ulang apa yang kamu baca. Dan orang seperti itu juga seorang pecinta yang serius.”

Ranti tergelak.

“Pasti kamu tidak percaya apa yang kukatakan itu kan? Coba saja kamu pikirkan, kebanyakan orang seusiamu, seusia kita, akan meninggalkan bacaannya jika dirasa itu membuatnya mengerutkan dahinya. Lalu dia akan mengalihkan bacaannya pada sesuatu yang lebih ringan. Lebih ngepop. Dan mungkin juga sedang ngetrend.”

Ranti menatap lelaki itu. Sisa gelaknya masih terukir dalam senyumnya. Lelaki ini beda dari teman-temannya.

“Lalu apa hubungannya sama pecinta yang serius?” tanya Ranti sambil menutup buku dan memasukkannya ke dalam tas. Di depannya sebuah pentas siap digelar.

“Pecinta yang serius, tak akan meninggalkan orang yang dicintainya meskipun dia teramat susah untuk memahami kekasihnya itu. Dia akan terus mencintainya meskipun dia bisa saja meninggalkan kekasihnya itu dan mencari cinta baru yang lebih mudah untuk dipahami.”

Ranti baru akan mengatakan sesuatu, tapi lelaki itu sudah bangun dari duduknya dan dia berjalan dengan langkah yang panjang dan tegas menuju ke pentas.
“Namaku Ranto,” katanya  sebelum meninggalkan Ranti yang masih menganga.

Ternyata namanya  Ranto dan dia salah satu dari sekian banyak pegiat seni yang akan mementaskan pagelaran hari ini. Ranti menegakkan punggungnya ketika Ranto sudah berdiri memegang mike dan membacakan sebuah puisi.  Suaranya yang berat mendesah, membuat puisi yang sedang dibawakannya menjadi terdengar lebih indah. Entah mengapa, Ranti merasakan denyar  yang nanar menjalari sekujur badannya. Apalagi saat sepintas, matanya bersirobok dengan kilatan mata Ranto. Ranti tak pernah merasakan ini sebelumnya.

Suatu kali senja bisa saja tidak jingga. Semua melupakannya. Kecuali kita yang pernah sekali terjebak didalamnya.

Ranto mengakhiri puisinya. Dia menyelipkan sebuah ucapan dipenghujung persembahannya.

“Untuk gadis bersweeter kuning gading, yang telah menepis mendung pagi ini, menjadi matahari yang bersinar di lengkung langit hatiku.”

Ranti terpaku. Dia tak mendengar lagi tepuk tangan dan lengking siulan yang ditujukan pada dirinya. Pipinya terasa panas.

Semenjak itu Ranti menjadi bagian dari puisi-puisi Ranto. Lebih dari itu, Ranti telah menjadi bagian dari hidup Ranto.

Ah. Ranti memejamkan matanya mengingat kenangan indah itu. Kenangan indah itu akan segera berganti judul menjadi kenangan pilu. Mungkin setelah pertemuannya dengan Ranto untuk terakhir kalinya ini, Ranti tak ingin mengingatnya lagi. Tapi Ranti ragu apakah dia benar-benar bisa melupakan percakapan dan puisi yang telah membuatnya jatuh hati pada Ranto. Kenangan itu sudah terlalu dalam menancapkan akarnya ke palung ingatan Ranti. Mencabut kenangan itu dari ingatan Ranti pasti akan menyisakan perih di hati. Jika membuang kenangan saja sudah sebegitu perih apalagi menyimpannya dalam ingatan. Kelak bila sewaktu-waktu Ranti terkenang Ranto, bagian inilah yang pasti akan membuat Ranti menangis. Membuat perih bertubi-tubi menikam di hati.
Ranto adalah cinta pertamanya. Ranti tidak memiliki pengalaman secuilpun untuk menghadapi senja ini. Ranti merasa telah cukup waktu sebulan sejak pesan pendek yang nyasar ke ponselnya malam itu untuk memastikan bahwa tidak ada yang bisa dipertahankan dari Ranto. Tidak cintanya, yang mungkin sudah lenyap entah kemana. Juga tidak puisinya, yang mungkin hanya sederatan kata tanpa makna.

Saat dia mengatakan ya, dan menerima Ranto menjadi kekasihnya, Ranti sama sekali tidak pernah terpikir bahwa ini akan berakhir begitu saja. Ranti selalu yakin bahwa kelak tak berapa lama lagi, Ranti akan bersanding dengan Ranto, mengikat janji setia. Kemudian mereka akan beranak pinak seperti buku-buku yang berserakan terus bertambah setiap waktu di kamar Ranti. Dan akan ada suatu malam, dimana lampu sudah temaram, suara ceria kanak-kanak telah padam, mereka berdua saja di teras belakang. Duduk memandang langit yang kelabu. Sembari mendaratkan satu dua kecup ciuman di sela-sela obrolan ringan.

Tidak dinyana, khayalan yang telah Ranti pelihara diam-diam itu, kini akan menjadi barang usang.

Ranti melirik ponselnya, membaca angka pada jam digital yang berkedip-kedip di layarnya. Tinggal beberapa menit lagi. Sungguh menit-menit yang panjang dan melelahkan. Duduk di sini, di taman yang seharusnya menyenangkan ini, bagi Ranti ibarat duduk di atas sekam yang sedang terbakar.
Ranti mereka-reka kalimat apa yang akan dijadikan senjata pemungkasnya di hadapan Ranto.

Maaf, kita tak mungkin bersama lagi. Akan lebih baik bagi kita untuk menjalani hidup kita sendiri-sendiri. Kau dengan kekasih barumu itu. Dan aku dengan kesendirianku. Tidak usah kuatir, aku tidak akan sendirian selamanya. Tidak lama lagi aku pasti akan menemukan penggantimu.

Ranti tak suka ada kata maaf disitu. Seolah-olah Ranti penyebab semua ini terjadi, dan dia meminta maaf untuk itu. Atau ini saja…

Selamat tinggal. Jangan cari aku lagi.

Tapi Ranto memang telah dua minggu ini tak pernah lagi berusaha menghubunginya. Kecuali Ranti, yang terus mencari tahu ada apa sebenarnya di balik semua perubahan sikap Ranto, pada praktiknya  Ranto sudah tak pernah mencarinya.

Mungkin dengan penggalan puisi. Agar apa yang telah dimulai dengan sebuah puisi, akan diakhiri pula dengan sebuah puisi. Agar terdengar lebih dramatis. Tapi tak ada puisi yang diciptakan untuk mengakhiri sebuah hubungan. Sepertinya semua puisi bercerita tentang cinta dan kerinduan.

Atau seperti dalam sinetron abg yang tak sengaja Ranti lihat di teve-teve. Singkat, padat, disertai seringai tajam bak serigala: Kita putus!

Ranti menghembuskan udara yang dirasa mulai menyesaki dadanya dengan dengan satu hembusan panjang. Senja masih diam ditempatnya. Sinar matahari yang hangat menelusup sela-sela daun beringin yang bergerak-gerak dibuai angin.

Ternyata mengakhiri sebuah hubungan tidak semudah yang dia bayangkan. Apalagi jika sebenarnya sampai saat dimana vonis itu akan dia jatuhkan, Ranti sama sekali belum tahu apa yang telah mengacaukan hubungannya dengan Ranto.

Apakah ada perempuan lain? Atau mungkinkah Ranto telah bosan pada dirinya, dan sms pendek yang kesasar menurut pengakuannya itu hanyalah modusnya saja. Dia hanya mencari gara-gara agar dia bisa melepaskan diri dari ikatan hubungan yang sudah terlanjur rapat. Ataukah Ranto sejak awal tak ingin menjalin komitmen yang lebih pasti. Ranti sebentar lagi menyelesaikan skripsinya. Pembicaraan tentang menikah beberapa kali menjadi topik hangat diantara kencan-kencan mereka. Meskipun Ranti tak keberatan menunggu Ranto menyelesaikan kuliahnya –karena Ranto selalu sibuk dengan kegiatan ekstra – bisa jadi, Ranto sama sekali tidak pernah merencanakan untuk menikah dengannya. Dan menyadari Ranti akan segera lulus, Ranto kemudian mencari cara agar bisa melepaskan diri dari Ranti.

Jika begitu adanya,  kenapa Ranto begitu bersusah payah untuk menyusun skenario menjauhkan diri dari dirinya sampai sedemikian rupa. Membuat Ranti sebulan ini menderita dicecar dengan segala tanya, praduga dan kecurigaan-kecurigaan yang menyilet-nyilet kepercayaannya pada Ranto sekaligus menyilet-nyilet kepercayaan dirinya sendiri.

Ranti membayangkan seperti apa perempuan yang telah memalingkan perhatian Ranto darinya. Cantikkah? Pintarkah? Kulitnya kuning langsatkah? Suaranya mendayu-dayukah?

Kenapa Ranto tidak datang saja padanya begitu saja, sama seperti saat pertama kali dia muncul di hadapannya pagi dua tahun tiga bulan yang lalu. Mengatakan sesuatu yang Ranti tahu itu cinta. Kenapa dia tidak datang saja dan mengatakan semuanya agar tidak perlu ada sebulan yang menderita dan penuh prasangka.

Kini Ranti benar-benar geram. Dia tidak seharusnya mengalami semua ini. Pesan pendek yang membingungkan. Kemisteriusan Ranto menanggapi pertanyannya. Hilangnya seluruh perhatian Ranto dan sekarang, Ranti harus terjebak di taman ini memikirkan bagaimana caranya mengakhiri semua.
Ingin rasanya Ranti menekan tuts ponselnya. Mengetikkan sejumlah kata-kata yang mungkin mempresentasikan kekecewaan dirinya.  Lalu menuliskan kata selamat tinggal. Dan mengirimkannya sebagai pesan pendek terakhir kepada Ranto. Tapi tidak. Itu terlalu mudah dan menyenangkan untuk Ranto. Dia tidak perlu menyiapkan dirinya untuk menerima vonis yang teramat berat itu dari Ranti. Dia tidak akan mengalami bagaimana kerisauan sanggup mengobrak-abrik seluruh pertahanan dirinya. Dia tidak akan melihat bagaimana mata Ranti yang menggenang air bah kedukaan menusuk-nusuk jiwanya.

Ranti ingin Ranto sama menderitanya dengan dia. Paling tidak, saat berakhirnya hubungan mereka, Ranti ingin menularkan perih yang mengiris hatinya pada Ranto lewat tatap matanya. Itu sebabnya, Ranti sekarang disini, menunggu Ranto yang mungkin tinggal seribu langkah jaraknya dari taman ini.
Kemarin Ranti berhasil menghubungi Ranto, dan memaksanya untuk mau bertemu senja ini. Dia sengaja tidak lagi banyak bertanya, dan membiarkan Ranto mengira bahwa dia telah menyerah dan mengalah pada kemauan Ranto.

Ranti tidak ingin berlama-lama menderita. Baginya hidup terlalu berharga untuk dilewatinya dengan air mata. Ranto mungkin lelaki pertama yang telah membuatnya jatuh cinta. Juga telah membuatnya sesak nafas memahami sesuatu yang tidak kunjung dijelaskan  oleh Ranto. Bukan berarti itu boleh menyebabkan Ranti mengiba-iba mengobral air matanya.

Ternyata memahami lelaki tidak bisa dibandingkan dengan memahami buku. Seperti yang pernah diucapkan Ranto dulu. Buku tak pernah membuatnya semenderita ini saat dia berusaha memahami apa yang tersirat di balik rumit kata-katanya. Sementara memahami kerumitan lelaki dan isi otaknya yang misterius sangat menguras emosinya.

Sudah hampir saatnya. Ranti melihat bayang hitam di ujung jalan sudut taman ini bergerak gontai. Ujung jalan akan membawa sosok tegap --yang dengan melihatnya saja hingga kini masih menggetarkan Ranti-- itu sampai di titik ini. Tepat di hadapan Ranti.

Sengaja Ranti memilih tempatnya duduk menunggu, yang langsung akan membawa Ranto ke hadapannya. Tak ada akses lain menuju tempatnya duduk kecuali pintu gerbang yang terbuka lebar di depan Ranti. Tak sebegitu jauh dari tempatnya menunggu. Ranti tak ingin dia kecolongan tak mengetahui kedatangan Ranto seperti saat pertama mereka bertemu. Itu artinya Ranti akan kehilangan semua keberaniannya untuk mengakhiri kisah diantara mereka.

Sosok tegap itu semakin mendekat. Perlahan tapi pasti geletar aneh merambah sekujur tubuh Ranti. Degup jantungnya seakan bertalu-talu semakin keras setiap langkah kaki memperpendek jarak diantara dirinya dengan sosok itu. Ranto, dia mendesis lirih. Matanya tak sanggup memandang jauh kepada sosok yang masih terus melangkah mendekatinya. Kenapa ini, mengapa Ranti merasa tak berdaya memandang wajah kekasih yang akan sebentar lagi menjadi orang asing baginya. Seharusnya dia tegakkan kepala, menyorotkan api di kedua matanya dan memasang tameng untuk bertahan dari serbuan amarah yang akan ditebaskan padanya.

Ranti sungguh tak mengerti. Seluruh raga yang tadi bersikukuh bahu membahu hendak melontarkan kata pemutus hubungan, kini melemah. Luruh seinchi demi seinchi. Seperti prajurit yang gentar melihat kedigdayaan lawan. Ranto terlihat begitu tenang. Tidak sedikitpun sikapnya terlihat gamang. Ranti ragu-ragu apakah keputusannya untuk mengakhiri hubungannya dengan Ranto adalah keputusan yang tepat.

Sejujurnya Ranti mengharap, pertemuannya dengan Ranto adalah untuk membereskan kekacauan yang telah dia rasakan belakangan ini. Bukan dengan mengakhirinya, melainkan dengan pelukan dan kata-kata yang menyejukkan hatinya.

Ranto hanya berjarak sepuluh meter darinya kini. Lelaki itu menjadi bayangan gelap ditimpa sinar lembayung. Kelelakiannya menjadi semakin tegas diarsis oleh bias cahaya yang memantul dari garis tubuhnya.

Baiklah. Ini saatnya. Ranti menguatkan diri dan mengumpulkan keberanian yang mendadak sontak mengerjap dan sekejap lenyap dari benaknya. Dia ingin melewati ini dengan mudah. Kemudian setelahnya, Ranti akan terbebas dari belenggu tanya dan curiga yang menyiksa. Sembari menunggu Ranto menghentikan langkahnya tepat di depannya, Ranti berdiri. Dia gemetar menahan beban badannya sendiri. Yang gemetar menahan gejolak yang berdebur di jantungnya. Sesuatu tengah berkecamuk didalam sana. Ranti bersitahan meredakan semuanya, agar semua yang dia maksudkan senja ini tidak kabur sia-sia.

“Sudah lama menungguku?”

 Suara Ranto terdengar tetap mengejutkan walaupun Ranti telah menyiapkan drinya sedari kekasihnya itu belum berdiri di hadapannya.  Seluruh air di tubuhnya tersirap merayap pelan menuju satu titik di kedua kelopak matanya. Ranti mematung. Dia mencari-cari kekuatan untuk menahan sesuatuyang hendak menjebol benteng pertahanannya. Tidak. Dia tidak ingin menangis di depan Ranto. Tidak untuk kali ini. Dia harus memperlihatkan sisi dirinya yang keras, yang selama ini tersembunyi jauh di balik kelemahlembutannya.

“Ranti, mengapa kau diam?”

Sekujur tubuh Ranti benar-benar gemetar, pertahanannya runtuh sudah. Dia mengangkat wajahnya yang kuyup oleh air mata. Dalam samar pandangan yang tersaput linangan di matanya, Ranto sekilas memperlihatkan wajah cemas.

Ranti membuka bibirnya. Dia hendak mengakhiri semua.

“Aku mencintaimu Ranto. Masih mencintaimu.”

Senja telah usai.

Repost from my Facebook Notes, Waikabubak, 10 Oktober 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar