Sejenak Sebelum Tugas Ketiga


Pagi belum usai. Mendung menghadang sinar matahari yang hendak menyapa bumi Sumba. Serasa pagi ini lebih panjang dari biasanya. Saya bergegas menyiapkan sarapan, mengantar suami ke rumah rekan kerjanya untuk kemudian mereka berdua berangkat ke Waitabula dimana kantor suami saya berada. Lalu membereskan sisa-sisa kekacauan pagi yang tersebar di seluruh penjuru rumah.

Setelah semua terkendali, saya segera membuka laptop dan mengakses internet. Saya ingin tahu hasil tugas audisi menulis yang sedang saya ikuti. Kali ini perasaan dug dag seperti yang saya alami minggu lalu sudah mulai berkurang, meskipun rasa deg-degan itu tetap ada. Namun, ada yang menggantikannya. Perlahan, saya mulai dirasuk rasa tidak sabar ingin segera mendapat tugas baru lagi. Sampai-sampai saya menunggu email dari admin Gradien Writer Audition ini dari semalam. Hehehe.


Alhamdulillah. Tugas menulis kedua saya lolos seleksi. Saya menyelesaikan tugas kedua itu dalam jangka waktu dua hari. Saya harus mengedit ulang beberapa bagian, agar tulisan saya itu tidak terlalu lebay. Entahlah, saya masih kesulitan menulis tanpa harus terjebak dalam kalimat-kalimat yang kelewat puitis. Apakah saya tidak pandai memilih diksi, atau memang kecenderungan saya yang demikian. Di luar hal itu, syukurlah tulisan saya tidak menyebabkan saya tereliminasi.

Seperti halnya minggu pertama, saya mendapatkan dua buah tugas untuk bisa melewati audisi minggu kedua. Tugas tersebut adalah menuliskan adegan di sebuah lorong gawat darurat, dimana seorang sahabat terbaring disana dan saya tidak percaya peristiwa ini terjadi padanya, terngiang di telinga lagu kenangan yang mewarnai persahabatan saya dengannya, ditulis sebanyak 450-500 kata. Dan menuliskan reaksi saya terhadap situasi dimana di sebuah pagi saya terbangun oleh ketukan, seseorang yang sangat saya mimpikan berdiri di depan pintu, mengajak saya sarapan, ditulis dalam 550-600 kata.

Inilah tugas kedua saya itu:

UGD

Selasar yang membentang panjang di depanku mendadak disergap senyap. Aku mempercepat langkah kakiku, namun semuanya terasa bergerak lambat.  Kakiku semakin berat kuayun, seperti sedang menyeret beton yang tertanam di kubangan lumpur. Setiap langkah yang berhasil kuayun, semakin menambah berat kedua kelopak mataku menahan sesuatu. Ada yang siap tumpah ruah di situ. Semua berawal dari kebodohanku.

Seharusnya kemarin, dia tidak perlu memamerkan gadis itu padaku. Aku cukup sadar, bahwa aku, seberapapun keras berusaha menjadi sahabat terbaiknya, sampai kapanpun tidak akan bisa menghadirkan cinta di hatinya. Aku bahkan rela dibakar cemburu yang harus kututup rapat agar dia tidak tahu, setiap kali dia menceritakan ketertarikannya pada seseorang dengan riang. Aku pura-pura menggodanya, padahal aku sesungguhnya tengah sibuk mengobati perih di hati.

Betapapun ingin aku menatapnya sepenuh cinta. Betapapun kuat rasa ingin memilikinya mencuat dari dalam dada. Aku terus menahannya, menyimpannya di ruang tergelap dalam hatiku. Membiarkan cinta tinggal di dalamnya dan menjadi fosil purba.

“Tahu nggak,” katanya pada suatu siang sambil menatapku. Dia menungguku menjawab sambil menopangkan kedua jemarinya di dagu. Dan tersenyum  jenaka.

“Apa?” aku menjawab setelah berlagak tenang. Padahal aku mulai menggigil karena entah mengapa aku menyadari ada kalimat yang akan membuatku terkesiap dan mengambang di angkasa karenanya.

Dia tersenyum lagi. Tetapi kali ini senyumnya penuh arti.

“Kamu adalah perempuan pertama dalam hidupku yang aku ajak makan siang bareng.”

Aku memias. Seluruh darahku surut. Setelah beberapa detik aku mematung, kemudian aku tersadar. Pipiku terasa panas. Mungkin ada bias kemerahan disitu. Aku tersipu dan tertawa rikuh. Sementara dia malah tergelak setelah berhasil membuatku malu.

Semenjak itulah, dia selalu ada di sampingku. Berangkat kuliah bersama, latihan di sanggar seni, menemaniku berbelanja. Atau sekedar nongkrong di kafe kecil depan kampus. Sembari mereguk kopi hitam kesukaannya dia memetik gitar dan melagukan  Tears in Heaven. Lagu kesukaanku yang selalu kunyanyikan saat aku merasa kesepian.

Aku terus melangkah kian tergesa. Selasar ini belum juga habis kulalui. Sebuah flash back melintas di genangan air mataku yang mulai tumpah.

Matahari terik menggigit. Panas menyengat kepala. Jika tidak karena marah, aku tidak sudi menyerahkan diri dibakar oleh siang yang menjerang. Tapi siapa yang peduli lagi. Aku berlari membelah trotoar yang sesak oleh pejalan kaki. Meninggalkan keramaian dan seorang yang meneriakkan namaku, memintaku berhenti.

Aku terus berlari menerjang siang, mengejar bis kota yang terseok di depanku disarati penumpang. Aku melompat. Bergayutan sejenak di pintu bis kota, lalu rusuh menyeruak ke dalam sesaknya jejalan orang-orang. Sempat kutengok ke belakang, dia lunglai berdiri di pinggir jalanan, memandang kuyu bis kota yang membawaku pergi. Di sampingnya, seorang gadis semampai sibuk berbicara. Mungkin bertanya-tanya, apa yang terjadi. Sudut-sudut mataku memanas.

Air mataku berjatuhan, bercecaran sepanjang selasar. Di ujung sana kegaduhan menikam dada. Suara tangis merobek kesunyian. Tapi yang kudengar adalah suaranya. Menyanyikan Tears In Heaven untukku. Seperti saat-saat terindah itu.

“Would you know my name if I saw you in heaven. Would  it be the same, if I saw you in heaven. I must be strong and carry on. Cause I know I don’t belong here in heaven.”



Tamu

Pagi sebentar lagi pecah. Kabut menguar ditepis pedang-pedang cahaya yang dihunus matahari. Menyisakan dingin yang menyelinap dari kisi-kisi jendela. Aku mengkerut dibungkus selimut. Mimpiku belum usai. Belum waktunya aku bangun dan menyerahkan diri pada hawa yang menggigil.

Sebuah ketukan di pintu rumahku terdengar. Aku menarik selimutku, menutupi telingaku dengan bantal, berharap suara ketukan itu berhenti, dan aku bisa tidur lagi. Mengganggu sekali, aku merutuk dalam hati. Suara ketukan itu terdengar lagi. Aku mendadak pusing. Tapi ketukan itu malah terdengar lagi dengan volume yang lebih keras.

Dengan terpaksa aku bangun, mengerjap-ngerjapkan mata agar kantuk hilang. Lalu berjalan sempoyongan keluar kamar menuju pintu rumahku. Sengaja aku tak membereskan diri dulu, supaya orang yang mengetuk pintu rumahku itu tahu kalau dia sudah mengganggu tidurku. Aku siap menyemprotnya dengan kata-kata ketus. Dan memasang tampang tercemberut yang paling bisa dilakukan oleh wajahku.

Pintu kubuka dengan kasar yang kusengaja. Mulutku sudah menganga hendak memuntahkan serapah. Tapi, aku mendadak kejang. Terkejut melihat siapa yang berdiri di depanku.

“Laut….”.

“Selamat pagi, Kinan”, dia tersenyum dan membungkukkan badannya. Lalu tanpa bisa kuelakkan, sepotong ciuman mendarat di keningku.

Aku kaget, rikuh dan malu. Entah seperti apa rupaku sekarang didepan lelaki ini. Aku masih belum bisa mengembalikan kesadaranku. Mematung seperti bangau yang mengantuk di tepi danau. Tidak tahu apakah harus senang atau marah melihat seorang yang lama namanya kusimpan dalam kenangan dan menjadi pengisi mimpi-mimpiku, tiba-tiba muncul dan tersenyum, lalu mendaratkan sebuah kecupan tanpa aku sempat mengelak.

“Bisa aku mengajakmu sarapan, Kinan”? masih dengan senyumnya yang hangat dia berujar.

“Aku…tidak tahu. Kau mengagetkanku, Laut. Aku…”.

Aku pikir aku mengatakan itu, tapi ternyata tidak. Aku masih diam mematung. Kehadiran Laut yang begitu saja di hadapanku sungguh membuatku terguncang. Aku  berpikir untuk kembali menutup pintu. Membiarkan Laut berdiri hingga mengering lalu karena bosan dan marah dia pergi berlalu selamanya dari hidupku. Bukankah itu yang dia lakukan selama ini padaku.

Tapi itu juga tidak kulakukan.

“Kinan, maafkan aku, katakan apa saja padaku. Tapi please, jangan diam terus seperti ini,” kini suara Laut bercampur geletar nanar. Senyumnya memudar.

Laut meraih tanganku. Aku menepisnya perlahan. Segurat kecewa melintas di matanya. Tapi dia kemudian tersenyum. Lalu menatapku dalam-dalam. Aku merasakan sesuatu menembus jantungku. Dingin, melebihi dingin pagi yang entah mengapa tak juga pergi.

Aku menunduk.

“Please Kinan, bicaralah. Aku sudah mengarungi separuh dunia untuk sampai di rumahmu. Sepatah katapun sudah cukup buatku.”

Kuhela nafasku.

“Ada kafe tak jauh dari sini. Croissantnya enak disitu.”

Laut tercengang, tersenyum dan berkata: ”Kamu tidak akan menyesali ini, Kinan. Terima kasih, Sayang.”

Aku berlalu menuju kamarku. Membersihkan diri seperlunya. Mengganti baju tidurku dengan sackdress hijau pupus dan menyelipkan bandana putih di rambutku. Aku ingin tampil sesederhana mungkin untuk mengesankan aku tak begitu menyukai kehadiran Laut.

Tapi aku salah. Laut justru terperangah dan mengatakan betapa cantiknya aku pagi ini. Seperti sekuntum bunga tulip yang ia lihat di negeri kincir angin katanya. Aku berdesir. Untuk suatu sebab yang aku tak sepenuhnya mengerti, beberapa detik aku merasa ingin kehadiran Laut disini tidak hanya sekedar mengajakku sarapanku saja.

Aku dan Laut berjalan beriringan. Sepanjang jalan, aku membiarkan Laut menggenggam tanganku. Lalu kami menghabiskan sarapan kami dengan lebih banyak diam. Kulihat Laut lebih menikmati menatap wajahku daripada menyantap croissant di piringnya.

 “Mengapa kamu datang padaku, Laut. Setelah sekian lama…” akhirnya aku tak tahan bertanya.

Laut senyap. Dia memandang mataku begitu dalam seperti ingin tenggelam di dalamnya.

“Aku mengunjungi negeri-negeri yang jauh. Melihat desa-desa yang indah. Bertemu dengan banyak orang-orang yang luar biasa. Tapi semua terasa hampa, saat kutahu kamu tak ada di semua tempat itu. Aku akhirnya sadar, kamulah rumah tempat hatiku berpulang.”

Kuremas cincin berlian di jari manisku. Pagi kian renta.



Demikianlah. Tidak sabar lagi, saya ingin segera mengerjakan tugas ketiga.



Repost from Facebook Notes, Waikabubak 18 September 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar