Di Sebuah Senja
Andai waktu bisa kuputar kembali, aku akan mengatakan “ya“, saat Fandy melamarku dengan romantis di bawah terpaan titik-titik air yang berhembus dari air terjun Maribaya. Aku akan mengatakannya dengan kebahagiaan yang meluap. Dengan senyum yang dihiasi linangan airmata. Dengan selaksa gita puja yang kulangitkan untuk Sang Penguasa Semesta Cinta.
Fandy tentu akan sebahagia Pangeran William tatkala melamar Kate Winslet. Di matanya aku adalah perempuan terindah yang pernah ada di hidupnya. Begitu yang pernah dikatakannya padaku pada suatu senja di lereng Tangkuban Perahu. Aku dan dia menuruni jalan setapak yang akan membawa kami keluar dari area gunung legendaris yang sudah meremang dibekap kabut. Dan Fandi memeluk tubuhku dengan erat. Seperti tak ingin hawa dingin yang dikirim halimun senja itu menyerang tubuh kecil ringkihku.
Aku selalu suka suasana Tangkuban Perahu. Mengingatkanku pada kisah cinta terlarang dua anak manusia. Cinta yang sedemikian perkasa, melebihi keperkasaan alam lainnya. Sehingga sanggup menyalurkan kekuatan yang ada pada diri anak manusia untuk mewujudkan cintanya. Kekuatan yang akhirnya menjelma menjadi sebuah gunung. Aku selalu merasa suasana muram yang selalu meremang di sana, adalah suasana muram perahu cinta Sangkuriang yang tak sempat menemukan tambatannya.
Siapa yang dapat menolak saat cinta merasuk di dada. Bukan salah Sangkuriang, dia begitu mencintai Dayang Sumbi yang ditemuinya di tepi hutan. Mereka dipertemukan oleh nasib dan cinta.
Siapa yang menyangka perempuan yang dicintainya adalah ibundanya sendiri. Jika waktu bisa diputar, aku yakin saat itu Sangkuriang akan memilih untuk tidak dilahirkan dari rahim perempuan yang dicintainya itu. Mungkin dia akan meminta Sang Hyang untuk menciptakan dirinya dari bongkahan batu atau butiran pasir. Agar dia tidak perlu merasakan pahitnya duka karena mencintai sang ibunda.
Seperti juga aku. Ingin rasanya saat ini aku membuka portal waktu yang memisahkan dimensi kehidupan sekarang dan masa silam. Untuk mengulang sebuah adegan dimana aku berdiri berhadapan dengan Fandi di jembatan yang membentang di atas derasnya air terjun Maribaya. Aku akan menjedakan waktu kemudian melompat melewati portal waktu yang terbuka itu, lalu berdiri di sana dan menggantikan kata “tidak” yang keluar dari bibirku, dengan kata “ya”. Sebuah kata yang paling ingin didengar Fandi saat itu.
Tapi tidak. Waktu tidak bisa kuputar kembali. Kata “tidak” yang kuucapkan, meluncur deras dari mulutku. Menerbitkan gemuruh guntur dan kilat di dada Fandi. Aku dapat merasakannya. Karena tiba-tiba cahaya terang yang bersinar dari matanya pudar ditelan kecewa. Fandi bertanya mengapa. Dan aku dengan bibir bergetar menahan gundah, mengatakan padanya bahwa aku tidak siap hidup dengannya. Aku tak ingin hidup menderita dengannya.
Kukatakan pada Fandi, aku telah bertunangan dengan seorang pengusaha kaya.
Aku meminta maaf pada Fandi lalu pergi meninggalkannya begitu saja. Pergi membawa sejuta lara. Aku telah mengatakan satu kata yang bertentangan dengan hatiku.
Mungkin jika aku mengatakan “ya” pada Fandi saat itu, aku tidak akan ada disini. Terbaring di sebuah kamar yang sendu dan dingin. Dijejali ventilator yang membantuku menyambung hidup. Aku tinggal menunggu maut menjemput.
Mungkin jika aku mengatakan “ya”, aku saat ini sedang berada di pelukan Fandi. Satu-satunya hal di dunia yang membuatku tenang dan nyaman. Aku tidak akan merasakan sepi yang mencekik leherku, meski oksigen dari mesin yang mendampingiku akhir-akhir ini terus-menerus ditiupkan ke dalam paru-paruku yang lemah. Aku mungkin akan bisa tertidur dengan tentram disampingnya. Meski nyawa sudah ada di ujung kepala. Sementara Fandi, meraung meratapi kepergianku, banjir air mata.
Tapi aku harus mengatakan “tidak”. Meskipun Fandi kemudian membenciku seperti kebencian dunia pada Hitler dan Stalin. Meski Fandi akan menghapus semua kenangan indah bersamaku dari ingatannya dan menisbahkanku sebagai perempuan terkejam di seluruh dunia. Aku harus mengatakannya agar Fandi tidak perlu merasakan penderitaanku. Aku tidak ingin semangat hidup Fandi runtuh setelah kepergianku nanti.
Aku tahu persis, Fandi begitu dalam mencintaiku. Dia bahkan mencintaiku lebih dari dia mencintai dirinya sendiri. Dia selalu rela melakukan apa saja untuk membahagiakan aku. Menyerahkan diri seutuhnya kepadaku untuk memenuhi segala keinginanku. Dia menjunjungku di kepala seumpama aku sebuah mahkota tiara.
Tidak bisa kubayangkan, seandainya aku menutup mataku di pangkuannya. Betapa hancur hatinya. Hidup baginya akan terasa hampa. Aku tidak ingin, Fandi dirundung duka lalu kehilangan semangat hidupnya.
Dengan cintanya yang begitu besar untukku, aku tak yakin dia bisa merelakan kepergianku. Jadi biarlah aku sendiri menyusuri sisa usia yang tak seberapa lama lagi berhenti. Biar aku jadi kenangan terbaik di hidupnya, bilamana suatu hari nanti Fandi menemukan pusaraku. Dan mengetahui cerita dibalik penolakanku.
Aku yakin saat itu, Fandi telah menjadi laki-laki sukses. Hidupnya bahagia, mungkin dengan seorang perempuan cantik yang menjadi pendampingnya, dan satu atau dua orang buah hati yang senang menggelendot di pangkuannya. Di saat itu aku tidak khawatir lagi, kepergianku akan menyengsarakan hidupnya.
Kebenciannya padaku akan pupus. Dan dia akan mengenangku sebagai seorang yang paling berarti di hidupnya. Yang rela bertarung dengan nyawa seorang diri, daripada harus menyeretnya ke lembah penderitaan bersamaku.
Barangkali inilah balasan cintaku untuknya. Tidak banyak yang bisa kulakukan untuknya dengan tubuh yang kian ringkih ini. Aku tak akan bisa mendampingi hidupnya sebagaimana perempuan lain mendampingi kekasihnya. Melayani kebutuhannya. Menawarkan cinta kasih saat dia dahaga. Menyemarakkan hari-harinya dengan canda tawa. Semua tidak akan bisa kulakukan.
Jadi, kukatakan “tidak”. Agar Fandi bisa melanjutkan kembali hidupnya. Itu adalah setinggi-tinggi balasan yang kulakukan untuknya. Balasan dari sekian tahun kesetiaannya menaburi hidupku dengan cinta.
Waktu terus bergerak. Kamar ini terasa semakin senyap. Aku mendengar lamat-lamat udara yang dipompa ke dalam rongga paru-paruku. Aku mendengar sayup-sayup suara isakan. Entah milik siapa. Mungkin waktuku sudah dekat. Aku harus bersiap.
Aku melihat Fandi di sebuah lorong cahaya. Dia melambaikan tangannya padaku. Dia terlihat bahagia. Aku ingin mempersembahkan sebuah senyuman untuknya. Aku tidak menyesal telah mengatakan “tidak” padanya.
Tapi andai waktu bisa kuputar dan aku bisa memilih. Tentu akan meminta kepada Tuhan agar virus yang kini menggerogoti paru-paruku tidak pernah tercipta. Aku akan meminta tidak terjangkit penyakit pneumonia akut ini. Sehingga aku bisa berdiri lagi dengan Fandi di senja itu di jembatan diatas rintik air berhamburan. Sebuah jeda waktu terindah yang ingin aku rasakan bersama Fandi.
Di ujung umurku ini, entah mengapa aku ingin kembali ada di sana, di jembatan diatas air terjun Maribaya. Mengatakan “ya”.
PS:
Selain kesalahan penulisan nama tokoh, ternyata ada kesalahan lain yang ditemukan oleh Ananda Jihan. Jadi geli sendiri, saya menulis Kate Winslet yang seharusnya Kate Midleton. Makasih ya Jihan. Maaf ya Kate Midleton. Hihihihi.....
Repost from my Facebook Notes, Waikabubak 25 September 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar